RE-A map of life :)

Minggu, 01 Juni 2014

AKU BANGGA MENJADI “GAGAL”


Judul Buku     : Aku Bangga Menjadi “Gagal”

Peresensi       : Alita Arifiana Anisa

Penulis           :Achi TM

Penerbit         :CV.Media Sarana Cerdas

Tahun Terbit :2011

Tebal              :65 halaman

AKU BANGGA MENJADI “GAGAL”

Kegagalan bukan merupakan hal yang unik dalam kehidupan. Seperti kandungan garam dari air laut, kegagalan tak terpisahkan dari indahnya kehidupan. Namun tidak semua orang tahu bagaimana men-‘treatment’ kegagalan dalam hidup agar bermanfaat bukan membebani. Kegagalan tidak pandang bulu, bukan hanya orang-orang dewasa dengan masalah yang kompleks yang merasakan pahitnya kegagalan, remaja umur belasan hingga usia tanggung yang tidak remaja juga tidak dewasa pun tak luput dari kegagalan, meski skala dan tingkat kekronisan kegagalan tersebut belum sekaliber orang dewasa. Oleh karena itu, imun kegagalan wajib dimiliki oleh kaum remaja, agar kebal menghadapi kegagalan-kegagalan lain dalam hidup dan menyulapnya menjadi keberhasilan.
Buku berjudul “Aku Bangga Menjadi “Gagal” ini mengambil setting kehidupan anak remaja, khususnya SMA, dimana kegagalan-kegagalan mulai terasa berat, ditambah dengan kondisi emosi anak usia belasan yang masih labil. Dengan bahasa yang ringan, buku ini mentransfer kekuatan untuk mengahdapi kegagalan, agar remaja tidak merasa menjadi orang paling bahagia sedunia saat senang, dan menjadi orang yang paling sedih lahir batin saat gagal. Buku ini mencoba menyajikan cara memanajemen emosi agar bermanfaat, bukan justru menjerumuskan. Namun demikian, ilustrasi yang dihadirkan penulis kurang kompleks, sederhana dan kurang mencerminkan kehidupan remaja jaman sekarang dengan permasalahan yang tidak mudah. Penyajian motivasi yang terkesan simple dan sangat apa adanya dalam buku ini bukan tidak baik untuk dikonsumsi, sugesti positif yang tersaji sebenarnya applicable untuk menghadapi urusan-urusan lain yang lebih kompleks dan menguras emosi. Meski mengambil setting kehidupan remaja SMA, muatan yang disajikan buku ini, baik dikonsumsi segala usia yang ingin menyiapakan diri mengahadapi kegagalan, mood yang tak menentu, prioritas, dan kesuksesan, karena buku ini mampu menghadirkan pemecahan masalah dengan simple namun mendasar.
So, what are you waiting for?

Minggu, 28 April 2013

BEING SELFISH FOR YOU ALL



BEING SELFISH FOR YOU ALL
Written By: Alita Arifiana Anisa
Minggu, 28 April 2013
“Untuk Diriku, Orang Tuaku dan Kamu yang ada di hati, Kini dan Nanti”

       Senja ini aku terduduk di sudut cafe kopi yang sama dengan beberapa hari yang lalu bersama (ehem) calon imamku. Tapi kali ini aku Sendiri. Well, aku, sebut saja Amoy, senja ini memutuskan untuk berbincang dengan diriku sendiri, mengeluh dengan diriku sendiri, berkonsultasi dengan diriku sendiri, berpikir egois tentang hidupku, pokoknya semua yang serba AKU. Selfish memang, tapi berbicara dengan orang lain ternyata did not work for this case.
     Well, tahap pertama memesan frozen coffe with chocolate, biar pikiran adem. Dua, masang gadget buat kamuflase. Tiga, pasang posisi enak, duduk menghadap ke jendela, menyangga dagu dengan kedua tangan, mata menerawang. Oke, aku siap, diriku! Mari diskusi.
     Hai diriku, aku tau studi lanjut keluar negeri itu mimpi hampir semua orang yang senang belajar sepertimu, tapi bukankah kamu sudah sedikit menarik mimpimu yang satu itu kebawah agar lebih dekat dengan tanah? Bukankah kamu sudah sedikit memodifikasikannya menjadi studi lanjut saja tanpa embel-embel luar negeri yang ‘wah’ itu?
Aku memalingkan wajahku sedikit, seorang laki-laki mulai curiga dengan gadhet yang kuanggurkan begitu saja.

     Ya, Amoy.. itu benar. Mimpi itu benar. Modifikasi itu pun benar. Tapi tidakkah mimpi yag tadinya kau anggap begitu jauh dari daratan itu ternyata dekat setelah kau berhasil menaiki tangga lewat pertukaran pelajar  setahun yang lalu. Apakah pertukaran pelajar waktu itu tak menjadikan sesuatu yang berarti pada mimpimu? Lalu, apa kata dosenmu waktu itu tak cukup membuatmu kembali berani bermimpi soal embel-embel luar negeri itu? Beliau bilang, kalau cita-citamu dosen, maka pergilah studi keluar negeri, beliaupun tak lelah bilang kau bisa, ibu pembimbing yang baik itu pun tak kalah bersemangat bilang kau mampu, dosen cerdas lain pun seolah setuju, lalu apa yang membuatmu setakut itu?

      Hei, aku tak mengomel sepanjang itu, diriku!
Begini, aku sudah berbeda, aku ini perempuan dewasa, aku punya keluarga dan ingin punya keluargaku sendiri kelak. Keluargaku butuh suplay materi, teman! Dan aku tak bisa duduk manis dibangku kuliah sedang ayah bundaku membanting-banting tulang mereka demi membelikanku buku. Aku tentu saja dengan segenap kesadaranku tak ingin meninggalkan orang yang sungguh kuyakini sebagai imam masa depanku dengan studi keluar negeri, bagaimana jika ketka aku kembali dia tak lagi seperti ini? Apa itu tak membuatmu berpikir?

      Stop!
Mari fokuskan ini pada studimu terlebih dahulu tanpa memikirkan faktor lain, pertanyaannya adalah.. apakah kamu ingin melanjutkan studi? Kemana?

      Baiklah, be selfish, pikirkan ini saja tinggalkan papa kerenku, mama sabarku, dan laki-laki yang telah melelehkan hatiku dua tahun terakhir ini. Ya, aku ingin sekali studi lanjut, tapi keluar negeri? Aku takut tanpa pendamping. Bagaimana menurutmu?

“Mbak, mbak, mbak..”

What?! Disaat seperti ini?

“ Frozen coffe with chocolate?”

“ oh, ya. Makasih”

      Bisa aku teruskan, moy?

      Tentu saja,

      Poin satu, kita ingin studi lanjut. Deal?

      Yahh..

     Poin dua tentang pendamping, dia tak ingin ikut bersamamu ke luar negeri kan? Dan itu yang membuatmu takut? Bisakah kau pahami itu dari dirinya?

     Ya, sesungguhnya aku sangat-sangat ingin dia ada disampingku, diamanapun aku bagaimanapun aku. Tapi alasan untuk mencari  bekal membangun pondasi rumah tangga kita kelak sungguh meluluhkan egoku, diriku. Aku memahaminya, dan bersedia mengalah.

      Baiklah, poin dua kau bersedia mengalah. Studi lanjut dalam negeri sampai saat ini menjuarai bukan? Lalu apa?

     Aku pun ingin turut membangun pondasi itu, diriku. Aku ingin bekerja. Selain itu bukankah keluargaku sedang berada dalam keadaan sulit setelah ayah kerenku itu dimutasi? Anak macam apa aku ini yang masih tega memberatkan mereka dengan sesuatu yang bisa ku bilang additional cost itu?

     Amoy, percayakah kau pada calon imammu? Percayakah kau akan kemampuannya?

     Okay, for additional information, he ever said to me that dia mau pergi keluar kota ini untuk 
mencari pengalaman baru, dan sungguh aku tak suka berdiam diri dikota ini sedang dia ada jauh disana entah sedang apa dan dengan siapa. Aku berpikir untuk meninggalkan kota ini juga, mencari peruntungan entah studi entah karir. Tapi pada dasarnya aku mempercayainya dan apapun yang dilakukannya. Hanya saja aku yakin hubungan jarak jauh tak pernah bekerja bagi siapapun dimanapun dalam kondisi apapun.

      Waaaaiiitt!!! Kenapa kemudian kau berpikir untuk ada dikota lain? Setelah tadi kita sudah deal bahwa tahap satu djuarai oleh studi dalam negeri??

     Aku hanya benar-benar ingin dia ada.

     Kau memahaminya, kau percaya padanya. Kau ingin dia ada, tapi dia tidak, teman. Jika dia tidak memikirkan keinginanmu, lalu kenapa kamu harus repot sekali memikirkannya?

       Baiklah, juaranya masih studi didalam negeri. Di kota ini, karena orang tuaku tak mampu membiayai biaya biaya lain untuk bertahan hidup studi di kota lain. Lalu apa? Aku tetap harus menjalani hubungan tidak sehat karena memang dia ingin tak di kota ini lagi kan? Ahhh.. menyebalkan sekali.

     Ya. Hubungan ini memang menyebalkan. Ini menghambat misimu ke luar negeri, ini menghambat studimu walau hanya di kota ini. Lalu apa yang kau pertahankan dari ini? Di luar negeri pun LDR, disini pun LDR, lalu apa bedanya?

     Hei!! Kau membuatku kembali ketitik awal, bukankah tahap satu memang sudah dimenangkan oleh studi dalam negeri! Jangan plin plan pliss!

Ku teguk frozen coffeku yang sudah mendingin. Aih..bukankah ini sudah dingin sejak awal disajikan. Sial! Aku mulai gilaaaaa~~~

     Huumm, akan ku kembalikan kau pada deal tahap pertama, paling tidak meski jauh kau masih bisa menelpon, sms, bertemu dengan intensitas hujan saat musim penghujan, bagaimana? Apa itu menebus dosaku?

     Baiklah, lalu apa lagi sekarang?

      Ingin mulai mengeleminasi option untuk bekerja?

     Well, aku ingin berdiri dengan kakiku sendiri, shoping dengan uangku sendiri, mengadakan pesta penikahan sesuai keinginanku sendiri, apa ini berlebihan menurutmu?

     Itu normal, setauku. Aku tidak bisa menyangkal, tapi mungkin usaha mu saat ini bisa kau jadikan pertimbangan kelangsungan shopping mandirimu, walau aku tak tau apakah itu bisa membuatmu mebuat pesta seperti maumu kelak.

    Itu cukup menghibur kurasa J

     Deal tahap dua kalau begitu? Studi disini dan bertahan hidup dengan usahamu. Masihkah ada yang mengganggu pikiranmu, sahabat baikku?

     Aku baru ingat, tidakkah keputusanku untuk studi disini saja akan mengecewakan supporterku? Dosenku yang bersedia membantuku ini itu? Ayahku yang sunggu ingin putriny jadi dosen yang bisa kupermulus dengan studi diluar? Sayangku yang sungguh-sungguh percaya pada potensiku?

     Ini hidupmu, buatlah ini benar benar milikmu.

     Lalu apa kau bisa mengatakan sesuatu yang mungkin bisa menenangkan gelojak ketakutanku tentang hubunganku denga laki-laki yang kuyakini sebagai separuh nyawaku?

     Aku tak tau.

     Perlukah aku menanyakan padanya?

     Kurasa tidak. Biar waktu yang menjawab.

      Waktu yang membuatku takut, dan kini waktu juga yang harus menjawab. Adilkah itu?

     Baiklah akan ku ajawab semampuku. Tuhan telah menyiapkan seseorang untuk hidupmu, yakinlah, jika bukan dengan dia maka Tuhan akan denagn indah mempertemukanmu dengan orang lain, percayalah. Tapi kalau kau tetap ngotot ingin dengannya, maka percaya adalah senjata utama.

     Aku mencintainya. Aku bersedia percaya.

     Itu lebih baik :)

     Apakah soal studimu sudah cukup jelas? Bisakah kita mulai membahas sesuatu yang lain diriku?
      
     Ya, studi disini, menjalani usaha dan percaya padanya.
     
 Oke, tahap baru, menikah. Tidakkah itu terbersit dalam pikiranmu? Kamu sudah bukan perepuan labil yang akan terus-terusan ganti pacar setiap dua tahun kan?
     
 Yap! Tentu saja, bersamanya akan kuakhiri petualangan hati, moy..
     
 Kapan?
     
 24? Terlalu cepatkah?
     
 Umm tidak untukmu, tapi entah untuknya.
    
 Yaa dia memang lebih muda satu tahun denganku, hanya saja ku harap itu tak jadi masalah seperti yang sering ia katakan padaku.
     
Hey! Frozen coffemu

Ku tenggak habis kopiku, ku sapu ruangan remang kafe ini, menyadari hari mulai malam, pengunjungpun makin banyak berdatangan. Riuh. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Aih, aku harus pulang, meski bukan laki-laki CCTV aku tak ingin mengecwakan si kekasih hati dengan melanggar janjiku sendiri untuk tak pulang terlalu larut malam.
Kubereskan gadget pengangguranku. Aku berjalan sambil menebar senyum. Hasil diskusi ini melegakanku. Saat ini.

Baiklah, dunia, dengan suara hati ini, akan ku kejar si mimpi jadi perempuan cerdas bagi suami dan anak-anak masa depanku dengan melanjutkan studi, aku kupenuhi ambisi mandiri lewat usaha kecil ini, akan kunanti pangeran hati dengan setgia dan penuh doa, semoga umur 24 benar-benar menjadi akhir petualangan cinta seperti yang ku damba dengannya. Uia, ide baru, stelah lulus s2 di usia 24 menikah, berkeluarga aku akan mengajak si suami dan calon anak keluar negeri, studi mungkin, dan dengan pendamping tentu saja.

Tuhan, ini bukan sekedar rencana, ini doa yang ku rancang matang-matang.
Tuhan, ini bukan sekedar harapan, maka kabulkanlah.. :)
Teriamakasih Tuhan.