BEING SELFISH FOR YOU ALL
Written By: Alita Arifiana Anisa
Minggu, 28 April 2013
“Untuk Diriku, Orang Tuaku dan
Kamu yang ada di hati, Kini dan Nanti”
Senja ini aku terduduk di sudut cafe
kopi yang sama dengan beberapa hari yang lalu bersama (ehem) calon imamku. Tapi
kali ini aku Sendiri. Well, aku, sebut saja Amoy, senja ini memutuskan untuk
berbincang dengan diriku sendiri, mengeluh dengan diriku sendiri, berkonsultasi
dengan diriku sendiri, berpikir egois tentang hidupku, pokoknya semua yang
serba AKU. Selfish memang, tapi berbicara dengan orang lain ternyata did not
work for this case.
Well, tahap pertama memesan frozen coffe
with chocolate, biar pikiran adem. Dua, masang gadget buat kamuflase. Tiga,
pasang posisi enak, duduk menghadap ke jendela, menyangga dagu dengan kedua
tangan, mata menerawang. Oke, aku siap, diriku! Mari diskusi.
Hai diriku, aku tau studi lanjut keluar
negeri itu mimpi hampir semua orang yang senang belajar sepertimu, tapi
bukankah kamu sudah sedikit menarik mimpimu yang satu itu kebawah agar lebih
dekat dengan tanah? Bukankah kamu sudah sedikit memodifikasikannya menjadi
studi lanjut saja tanpa embel-embel luar negeri yang ‘wah’ itu?
Aku memalingkan wajahku sedikit,
seorang laki-laki mulai curiga dengan gadhet yang kuanggurkan begitu saja.
Ya, Amoy.. itu benar. Mimpi itu
benar. Modifikasi itu pun benar. Tapi tidakkah mimpi yag tadinya kau anggap
begitu jauh dari daratan itu ternyata dekat setelah kau berhasil menaiki tangga
lewat pertukaran pelajar setahun yang
lalu. Apakah pertukaran pelajar waktu itu tak menjadikan sesuatu yang berarti
pada mimpimu? Lalu, apa kata dosenmu waktu itu tak cukup membuatmu kembali
berani bermimpi soal embel-embel luar negeri itu? Beliau bilang, kalau
cita-citamu dosen, maka pergilah studi keluar negeri, beliaupun tak lelah
bilang kau bisa, ibu pembimbing yang baik itu pun tak kalah bersemangat bilang
kau mampu, dosen cerdas lain pun seolah setuju, lalu apa yang membuatmu setakut
itu?
Hei, aku tak mengomel sepanjang itu, diriku!
Begini, aku sudah berbeda, aku
ini perempuan dewasa, aku punya keluarga dan ingin punya keluargaku sendiri
kelak. Keluargaku butuh suplay materi, teman! Dan aku tak bisa duduk manis
dibangku kuliah sedang ayah bundaku membanting-banting tulang mereka demi
membelikanku buku. Aku tentu saja dengan segenap kesadaranku tak ingin
meninggalkan orang yang sungguh kuyakini sebagai imam masa depanku dengan studi
keluar negeri, bagaimana jika ketka aku kembali dia tak lagi seperti ini? Apa itu
tak membuatmu berpikir?
Stop!
Mari fokuskan ini pada studimu terlebih dahulu tanpa memikirkan faktor
lain, pertanyaannya adalah.. apakah kamu ingin melanjutkan studi? Kemana?
Baiklah, be selfish, pikirkan ini saja
tinggalkan papa kerenku, mama sabarku, dan laki-laki yang telah melelehkan
hatiku dua tahun terakhir ini. Ya, aku ingin sekali studi lanjut, tapi keluar
negeri? Aku takut tanpa pendamping. Bagaimana menurutmu?
“Mbak, mbak, mbak..”
What?! Disaat seperti ini?
“ Frozen coffe with chocolate?”
“ oh, ya. Makasih”
Bisa
aku teruskan, moy?
Tentu saja,
Poin satu, kita ingin studi lanjut. Deal?
Yahh..
Poin dua tentang pendamping, dia tak ingin
ikut bersamamu ke luar negeri kan? Dan itu yang membuatmu takut? Bisakah kau
pahami itu dari dirinya?
Ya, sesungguhnya aku
sangat-sangat ingin dia ada disampingku, diamanapun aku bagaimanapun aku. Tapi
alasan untuk mencari bekal membangun
pondasi rumah tangga kita kelak sungguh meluluhkan egoku, diriku. Aku memahaminya,
dan bersedia mengalah.
Baiklah, poin dua kau bersedia mengalah. Studi
lanjut dalam negeri sampai saat ini menjuarai bukan? Lalu apa?
Aku pun ingin turut
membangun pondasi itu, diriku. Aku ingin bekerja. Selain itu bukankah
keluargaku sedang berada dalam keadaan sulit setelah ayah kerenku itu dimutasi?
Anak macam apa aku ini yang masih tega memberatkan mereka dengan sesuatu yang
bisa ku bilang additional cost itu?
Amoy, percayakah kau pada calon imammu? Percayakah
kau akan kemampuannya?
Okay, for additional
information, he ever said to me that dia mau pergi keluar kota ini untuk
mencari pengalaman baru, dan sungguh aku tak suka berdiam diri dikota ini
sedang dia ada jauh disana entah sedang apa dan dengan siapa. Aku berpikir
untuk meninggalkan kota ini juga, mencari peruntungan entah studi entah karir. Tapi
pada dasarnya aku mempercayainya dan apapun yang dilakukannya. Hanya saja aku
yakin hubungan jarak jauh tak pernah bekerja bagi siapapun dimanapun dalam
kondisi apapun.
Waaaaiiitt!!! Kenapa kemudian kau
berpikir untuk ada dikota lain? Setelah tadi kita sudah deal bahwa tahap satu
djuarai oleh studi dalam negeri??
Aku hanya benar-benar ingin
dia ada.
Kau memahaminya, kau percaya padanya. Kau ingin
dia ada, tapi dia tidak, teman. Jika dia tidak memikirkan keinginanmu, lalu
kenapa kamu harus repot sekali memikirkannya?
Baiklah, juaranya masih
studi didalam negeri. Di kota ini, karena orang tuaku tak mampu membiayai biaya
biaya lain untuk bertahan hidup studi di kota lain. Lalu apa? Aku tetap harus
menjalani hubungan tidak sehat karena memang dia ingin tak di kota ini lagi
kan? Ahhh.. menyebalkan sekali.
Ya. Hubungan
ini memang menyebalkan. Ini menghambat misimu ke luar negeri, ini menghambat
studimu walau hanya di kota ini. Lalu apa yang kau pertahankan dari ini? Di luar
negeri pun LDR, disini pun LDR, lalu apa bedanya?
Hei!! Kau membuatku kembali
ketitik awal, bukankah tahap satu memang sudah dimenangkan oleh studi dalam
negeri! Jangan plin plan pliss!
Ku teguk frozen coffeku yang
sudah mendingin. Aih..bukankah ini sudah dingin sejak awal disajikan. Sial! Aku
mulai gilaaaaa~~~
Huumm, akan ku kembalikan kau pada deal
tahap pertama, paling tidak meski jauh kau masih bisa menelpon, sms, bertemu
dengan intensitas hujan saat musim penghujan, bagaimana? Apa itu menebus
dosaku?
Baiklah, lalu apa lagi
sekarang?
Ingin
mulai mengeleminasi option untuk bekerja?
Well, aku ingin berdiri
dengan kakiku sendiri, shoping dengan uangku sendiri, mengadakan pesta
penikahan sesuai keinginanku sendiri, apa ini berlebihan menurutmu?
Itu normal, setauku. Aku tidak bisa
menyangkal, tapi mungkin usaha mu saat ini bisa kau jadikan pertimbangan
kelangsungan shopping mandirimu, walau aku tak tau apakah itu bisa membuatmu
mebuat pesta seperti maumu kelak.
Itu cukup menghibur kurasa J
Deal tahap dua kalau begitu? Studi disini
dan bertahan hidup dengan usahamu. Masihkah ada yang mengganggu pikiranmu,
sahabat baikku?
Aku baru ingat, tidakkah
keputusanku untuk studi disini saja akan mengecewakan supporterku? Dosenku yang
bersedia membantuku ini itu? Ayahku yang sunggu ingin putriny jadi dosen yang
bisa kupermulus dengan studi diluar? Sayangku yang sungguh-sungguh percaya pada
potensiku?
Ini hidupmu, buatlah ini
benar benar milikmu.
Lalu apa kau bisa mengatakan
sesuatu yang mungkin bisa menenangkan gelojak ketakutanku tentang hubunganku
denga laki-laki yang kuyakini sebagai separuh nyawaku?
Aku tak tau.
Perlukah aku menanyakan
padanya?
Kurasa tidak. Biar waktu yang menjawab.
Waktu yang membuatku takut,
dan kini waktu juga yang harus menjawab. Adilkah itu?
Baiklah akan ku ajawab semampuku. Tuhan
telah menyiapkan seseorang untuk hidupmu, yakinlah, jika bukan dengan dia maka
Tuhan akan denagn indah mempertemukanmu dengan orang lain, percayalah. Tapi
kalau kau tetap ngotot ingin dengannya, maka percaya adalah senjata utama.
Aku mencintainya. Aku bersedia percaya.
Itu lebih baik :)
Apakah soal studimu sudah
cukup jelas? Bisakah kita mulai membahas sesuatu yang lain diriku?
Ya, studi disini, menjalani usaha dan
percaya padanya.
Oke, tahap baru, menikah. Tidakkah
itu terbersit dalam pikiranmu? Kamu sudah bukan perepuan labil yang akan
terus-terusan ganti pacar setiap dua tahun kan?
Yap! Tentu saja, bersamanya akan
kuakhiri petualangan hati, moy..
Kapan?
24? Terlalu cepatkah?
Umm tidak untukmu, tapi
entah untuknya.
Yaa dia memang lebih muda satu tahun
denganku, hanya saja ku harap itu tak jadi masalah seperti yang sering ia
katakan padaku.
Hey! Frozen coffemu
Ku tenggak habis kopiku, ku sapu
ruangan remang kafe ini, menyadari hari mulai malam, pengunjungpun makin banyak
berdatangan. Riuh. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Aih, aku harus
pulang, meski bukan laki-laki CCTV aku tak ingin mengecwakan si kekasih hati
dengan melanggar janjiku sendiri untuk tak pulang terlalu larut malam.
Kubereskan gadget pengangguranku.
Aku berjalan sambil menebar senyum. Hasil diskusi ini melegakanku. Saat ini.
Baiklah, dunia, dengan suara hati ini, akan ku kejar si mimpi jadi
perempuan cerdas bagi suami dan anak-anak masa depanku dengan melanjutkan
studi, aku kupenuhi ambisi mandiri lewat usaha kecil ini, akan kunanti pangeran
hati dengan setgia dan penuh doa, semoga umur 24 benar-benar menjadi akhir
petualangan cinta seperti yang ku damba dengannya. Uia, ide baru, stelah lulus
s2 di usia 24 menikah, berkeluarga aku akan mengajak si suami dan calon anak
keluar negeri, studi mungkin, dan dengan pendamping tentu saja.
Tuhan, ini bukan sekedar rencana,
ini doa yang ku rancang matang-matang.
Tuhan, ini bukan sekedar harapan,
maka kabulkanlah.. :)
Teriamakasih Tuhan.